Ketika -mu Menjadi -Mu?

Atau,
apakah manusia akan mendapatkan
segala yang dicita-citakannya?
(An-Najm: 53:24)

Waktu yang terus mewaktu, perjalanan terus bergerak tanpa bisa disadur. Hanya tangan yang tergerak ke angkasa dan mata yang menatap ujungnya langit yang mahabiru. Tak ada yang menyangsikan bahwa segala sesuatu selalu menyimpan, menyimpan apa-apa yang sudah terbenam di lorong-lorong sejarah. Orang kemudian menyebutnya dengan nostalgia.

Sebenarnya, tak ada nostalgia yang berarti mengenai pertemuanku tentangmu, selain nostalgia harapan yang singgah kemudian terpapah di kesunyian waktu yang mewaktu. Dan sering tak bisa kupungkiri bahwa kadang kerinduan dan harapanku tentang-nya melebihi kerinduan dan harapanku tentang-Mu. Sungguh, bukan karena menyengaja semua itu. Semuanya ternyata tak mampu tersanggah lagi. Tapi aku meyakini maghfirah-Mu lebih gagah dan mendalam.

Teringat tentang al-Ghazali pernah berkata bahwa diri-Mu bagaikan matahari dipandang bola mata yang takkan pernah mampu menatap secara langsung, kecuali hanya melalui biasnya belaka. Pernah pula kudengar Novelis Pesantren Ahmad Tohari di suatu waktu berceloteh bahwa seorang hamba hanya akan mampu mengenal-Mu hanya apabila ia mengenal “ma”, yakni segala sesuatu yang bernama ciptaan. Ia akan menjadi bahan pengantar keagungan-Nya.

Sungguh, bila cinta dan harapan tentang-mu saja sudah sedemikian tangguh dan hebatnya, maka bagaimana ketika jatuh cinta kepada-Mu? Betapa pasti lebih perkasa-Nya, dan betapa lalu seketika menjadi rapuhlah diri, sama halnya ketika kuberharap dan jatuh cinta kepada-nya. Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar, lahaula wala quwata illa billah.

Sungguh, semoga semua itu adalah “ma”-Mu untukku mengenal-Mu. Setelah itu, dan karena itulah menjadikan mahabbah-Mu lebih detil kucerna dari segala kemahadalaman esensial-Mu.

Tetapi, cinta mungkin memang seharusnya berdiri di dua sisi, ketika berdiri di satu sisi, selayaknya ia surut ke belakang tegak tegar untuk belajar kerelaan sang Nabi. Surabaya, 12 Oktober 2008.

Komentar