Cinta Itu Puitis. Bukan Logis

Taman kota. Taman kota ini cukup manis. 
Di sana-sini pepohonan dan bebunga bertebaran, mekar. 

Betul, karena ini lagi musim semi, musim hujan. Semua mekar tertata di mata.
Mirip lukisan para penyair.Ada yang lebih manis di sini. Di sebelahku ini lo.

“Kenapa kau, memilihku?” ow, dia bersuara. Manis tenan kan suarayanya itu?
“Kau lihat bebunga bermekaran itu?” sahutku sembari menunjukkan jemari ke bebunga meriah di situ. Seakan pertanyaanmu barusan tak begitu penting apalagi mengusik. Kau menyipitkan mata. Kelilipan barangkali, hehe.

“Kenapa dengan bunga-bunga mekar itu heh?”
“Hehehe. Aku belum tahu, kenapa memilihmu,” imbuhku mesam-mesem. “tapi, kira-kira, apa yang kau rasakan sepagi ini, kala menatap bebunga mekar-mekar di sana?”

Matamu, sekali lagi menyipit lebih sipit. Wah, kok malah tambah manis. Sayang, kau ternyata setelah itu kepalamu menggeleng.

“Ya, gimana ya? Bebunga bermekaran itulah isi hatiku!” kataku.
“Aku kan nanya tadi, napa kau memilihku??”

Aduh biyung. Bisa-bisanya sih, dia nggak paham kalimatku? Nggak mudah jelasin alasan yang begitu kan? Sama kayak puisi, hanya bisa dihayati, bukan dijelas2sin bukan? Hanya dengan puisilah, cinta bisa leluasa, dan terbebaskan dari belenggunya yang tak terpahami. Bukan begitu, bukan?

“Nah, itulah isi hatiku kala bersamamu, ya saat2 bersama, dan bersenandung dengan kehadiranmu di sini. Di sebelahku ini.”
“Heran aku, sejak tadi kamu ngomongin apa sih?!”
Hadoh, hadoh. Gimana ini, kok nggak paham bahasa hati??

“Kau lihat matahari di puncak sana?” kataku lagi. Kurasa, perlu kubuatkan kiasan lain. Barangkali yang tadi emang agak rumit sih. Barangjali dengan simbol matahari pagi bisa lebih mudah. “Kalo pagi kan biasnya menyeluruh. Kau lihat, biasanya itu punya sifat tak terbatas. Bola sinarnya matahari jadi satu”

“Trus, ada apa dengan matahari?”
“Kau tahu, matahari itu merembet ke mana-mana, dan bahagialah penduduk bumi karenanya.”
“Iya, terus??”
“Kau tahu, napa mataharu seperti nggak pernah habis bercahaya?”
“iya?”
“Itu karena ia punya satu kekuatan. Yaitu, energi. Energi itu, seumpama kamu di hatiku. Kau bikin hatiku bertenaga. Itulah kenapa aku, memilihmu.”
“Ya terus? Halah, gimana sih, kok g nyambung. Aku tanya kenapa, bisa-bisanya kau menjadikanku sebagai pilihanmu?? Itu saja kok. Jangan ngawur kemana2 jawabnya dong ah! Puyer, eh pusing jadinya aku!!!.”

“Ya, ya...ya.. karena aku nggak milih yang lain, sayang...”
“Lah, iiyaa!!. Trs kok nggak milih yang lain???!”
“Ya,ya....karena aku milih kamu kan???”
“Doh....gimana sih?!!! Mencintai orang kok nggak logis blas! Yowes...”

Busyet. Busyet. Kok jadi serumit ini persoalannya??? Kan tadi simpel sekali kasusnya sih?? Heran, heran. Awal Maret 2010

komentar-komentar:

    • Achmad Fathol Qorib semester satu...
      03 Maret 2010 jam 16:54 melalui seluler ·

    • Isma Kazee dua jempol deh buat tamam. aku suka baca note semacam ini daripada puisimu kekekkek. btw. siapa tuh cewek? hihi
      03 Maret 2010 jam 17:05 melalui seluler ·

    • Tamam Ayatullah Malaka ‎::makasih, aduhai para jempolan yg ngasih anugrah cap jempol, haha

      ::tau aja kamu Rib!

      ::waduh, pe 2 jempol yo mbak?? Aku...wekeke
      lebih suka yang ini ketimbang yang puisi??? hik hiks,
      kok podo puyeng kabeh nek puisi yo???

      03 Maret 2010 jam 18:34 ·

    • Budi Oza
      Mam...., mash waras? kekekekkek...
      ruar biasa. prempuan itu kayaknya perlu dikursus rasa sm kamu. ajari bahasa rasa. eit itu cm fiksi kan?
      Dan ,, ini catatan, buat si cowok, Dia punya sifat yang terlalu ngalor ngidul ya, kurang cepat menangkap peluang Cinta, bahasane mwuuutterrrr, jadi telat terus kalo sebenrnya ada sinyal rasa dr lawan jenisnya. Kalo pun dia menangkapnya, paling dia lambat tanggap..., ataw kurang berani!
      CERITA INI SENTIMENTIL!
      03 Maret 2010 jam 18:58 ·

    • Tamam Ayatullah Malaka ‎::awas kau, kang Oza!

      akan kubayar nanti dengan cerpen yang lebih maskulin, trengginas, dan mencengangkan, demi tertatanya keseimbangan ying-yang yang tertata sempurna, heh heh he..tersudut.com

      03 Maret 2010 jam 19:49 ·

    • Budi Oza Wakakakakawakwakwkakakkkkk........gdubbraX! ((((ampe jatuh dr korsi)))
      03 Maret 2010 jam 19:53 ·

    • Nihayatul Wafiroh Jangan-jangan cerpen berikutnya akan lebih sentimentil nih?? kan seperti kesepakatan kita dulu di Arena, kalau Tamam akan sangat productive bila sedang jatuh cinta dan ditolak. Nah cerpen kali ini sepertinya mewakili kasus pertama. Tapi nek ndelok kerumitan, ketidakjelasan, dan ketidaklogisan dari jawaban pria itu, sangat memungkinkan cerpen selanjtnya mewakili kasus kedua yakni ditolak or diputus wkekekek
      03 Maret 2010 jam 21:49 ·

    • Budi Oza wakakakakakkakkakak....aku gak bertanggung jawab atas kommet Nico lo Mam,.,,,,,
      03 Maret 2010 jam 21:59 ·

    • Rangga Umara Nh o' begitu tho? aih aih... baru tahu. hehehe

      mantab! aku suka. salam bahagia...

      03 Maret 2010 jam 22:45 ·

    • Alimah Perempuan Ibuku laiknya logika sang saudagar cinta
      04 Maret 2010 jam 7:59 ·

    • Tamam Ayatullah Malaka ‎:::hadoh.Hadohh...

      gara2 kang Oza main kisruh.Piye to mbk nic ini. Gene lo mbak Nic: SEMUA ITU KURANG BENAR PESBUKIAH!

      salam aih aih Umara. Weh, logat Songenep ki yo??

      mbok jangan sandangkan gelar tanpa realitas itu lg ukh Alimah. cukup jd masa yang berlalu::ngisine aku kuwi,hehe

      04 Maret 2010 jam 11:30 ·

    • Ismahfudi Mh hihihi..... apakah ini ungkapan hati atau pengalaman pribadi, yg selalu berada di ambang ketidakjelasan (antara memilih, diterima atau ditolak). Salut coy, kuharap produktifitas dan imagi yg tinggi seperti ini tidak sirna manakala asa mu telah terjawab nanti....
      05 Maret 2010 jam 2:40 ·
 

Komentar