PERNIK DI SELA CINTA [2]

Menunggu. Ya, menunggu. Ternyata asyik juga menunggu. Menunggu kisahmu selanjutnya. Memang apa yang menarik dari kisahmu? Ah, entahlah. Yang pasti, ada rasa rindu menyimakmu berdendang dengan semua itu. Tetapi, lama sudah kau tak berjejak di sini. Di tempat ini. Di jembatan Kali Jagir ini.
Di sebelah sana itu, berbulan dahulu, pernah ada penggusuran besar2an rumah warga. Biar sehat dan bersih katanya. Sekarang, tambah kumuh. Kini, beberapa gubuk dan warung mulai bersitumbuh. Kasihan juga warga. Mereka kelimpungan mencari nafkah hidup, setelah tanahnya tergusur. Dan ternyata, tak ada penyelesaian yang gamblang. Mereka, layaknya warga asing yang menjadi pengganggu.
“Apa kedatanganku tak mengganggu??”

Aku membalikkan badan. Hmm. Dia rupanya. Kupikir kamu. Sebulan sudah dia tak nongol2 dalam jejakku. Mau apalagi dia?
“Apa kamu masih marah padaku?”
Aku menggeleng sebelum kemudian tersenyum.
“Tidak. Aku tidak marah.”
Sebulan sebelumnya, kami berpisah. Dia pamit izin ke Jakarta. Ada dinas katanya. Kebetulan, dia bekerja sebagai pekerja media. Dua minggu, dia mengabarkan sedang dekat dengan seseorang. Tiga minggu setelahnya, berminggu tak bertemu, ia mengaku merasakan kebosan luar biasa tentangku. Lama tak bertemu, membuatnya tersadar, kerja kami yang berbeda-lah penyebabnya. Aku kantoran, dan dia lapangan. Nggak mecing. Rasa kangen selalu tertunda jadinya. Perjumpaan jadi rumit. Itu membosankan. Begitulah alasannya. Bosan dengan rasa kangen yang terpenggal-penggal.

“Aku sadar, ini menyakitkanmu. Tapi rasa bosan ini cukup mengusik dan menggangu hatiku. Aku tak bisa berdiam lebih lama. Dan tiba-tiba aku tak bisa menahan tumbuhnya rasa cintaku pada yang lain. Sungguh, maafkan aku!”
“Pergilah. Jika memang kau menginginkan pergi..”
Sejenak, sorot matamu seperti terkatup mendengar sahutku.
“Benar, tidak apa-apa?”
Lagi-lagi aku menggeleng sebelum kemudian tersenyum hangat. Ada rasa malas bersuara. Kini, tiap-tiap sorot matamu, seakan sorong lampu kendaraan yang semburat.
“Menahanmu yang sudah ingin pergi? Buat apa? Ketika cintamu sudah memudar, apalagi yang bisa kuhirup dan kuharap dari keindahan rasaku? Karena kau ikut memiliki rasa cinta padaku-lah yang membahagiakanku selama ini. Aku takkan menahanmu. Yang membahagiakanku darimu, adalah rasa cintamu padaku. Dan rasa cintaku padamu. Itulah yang membedakanmu dari yang lainnya. Lenyapnya cintamu, maka tak berguna lagi memilikimu. Cinta itu pusaka yang membuat keberduan kita memiliki keutuhan; kebahagiaan.”

Panjang lebar aku berkesah. Berkesah tanpa menatapmu sama sekali. Aduh, duh. Ternyata aku sedang menunggu kisahku sendiri. Bukan kisahmu, sobat.
“Kamu ikhlas?”
“Ya. Aku ikhlas. Pergilah.”
“Terima kasih atas ketulusan dan pengorbanan rasa cintamu padaku selama ini..”
“Sudahlah. Tak perlu kau pikirkan. Hidup ini pilihan. Memaksamu untuk tetap di sini, hanya akan menghasilkan hal-hal yang terpaksa pula. Selamanya kita akan menderita oleh hidup yang sarat keterpaksaan. Sekarang bebaskan belenggu itu. Pergilah, dan hiduplah bersamanya.”
“Kamu serius??”
Ulangmu. Aku menganguk, mantap. Kau menarik napas dalam. Memegang kepala, dan manggut-manggut.
“Ya, sudahlah. Terima kasih, kau masih mau mengerti keadaan ini. Aku...” “Tidak apa-apa. Apalagi yang lebih indah dari cinta, selain pengorbanan? Pergilah. Aku akan bahagia karenanya...”
Lagi-lagi kau menarik napas dalam. Setelah manggut-manggut, kau pun membalikkan badan.
“Terima kasih...” ucapmu sebelum berlalu.

Tubuhmu kemudian menghilang di antara sela-sela kendaraan yang padat di kota bising dan polusi ini. Dalam kepala, aku seakan terkepung kumpulan bahasaku sendiri, [Apalagi yang lebih indah dari cinta, selain pengorbanan? Pergilah. Aku akan bahagia karenanya..]
Aduhai cinta, benarkah? Benarkah pengorbanan ini seheroik itu? Aku benar-benar tak ingin berlama dengan kepungan kalimat itu. Yang pasti, di jembatan ini, aku masih menunggu. Menunggumu berkisah selanjutnya. Atau, di tengahnya kucegat sejenak. Agar, aku pun bisa berbagi kisah denganmu. Lalu, seperti apakah kisahmu sekarang?? Sungguh, ada rasa tak tahan, untuk berbagi kisah denganmu.[]
.
komentar-komentar
:

  • Dianita Binti Alwan Hmm.. nnngg..
    30 September 2009 jam 21:47 ·

  • Yuli Kyala Asykury
    sudah kuduga, kalau kisahmu selalu menarik. cinta tak harus memiliki. atau bahagiamu bahagiaku. (kalau dikunyah-kunyah....selalu ada hubungannya) hehe. makacih om.

    02 Oktober 2009 jam 19:58 ·

  • Stella Maria Mimara Dita wah.....terrenyuh aq menyimaknya......
    03 Oktober 2009 jam 11:20 ·

  • Rangga Umara Nh ancen selalu mantap notenya...
    12 Oktober 2009 jam 16:01 ·


Komentar