YANG MENYELA CINTA [3]

Inilah saat-saat paling ditunggu. Menunggu jejakmu hadir di sini. 

Aku tahu, kau takkan mungkin jauh-jauh dan berlari dari tempat ini. Tempatmu berkesah. Ruang waktumu membagi kegelisahan. Kau pasti akan kembali sekali dan berkali ke sini. Di tempat ini.

Telah kusimak ritmemu setelah akhir cerita yang dulu itu. Kau telah memilih. Memilih yang ingin kau pilih, dan meninggalkan yang terpilih. Kau memilih yang datang, dan meninggalkan yang sudah tergemgam.
Hari ini. Masih di jembatan kali ini. Kau kembali menghadiriku.

Media seluler telah menjebak sang waktu tak berkutik. Ruang dan waktu tak lagi bermanfaat. Kecepatan teknologi membuat segala sesuatu serba ajaib. Sekejap mata memejam, secepat itu pula, sesuatu sanggup terpancang di depan mata.


Seperti biasa, kau berdiri di sebelahku, memangku pagar jembatan dan menyorong panjangnya arus sungai. Deras arus, gemuruh di telinga. Hembusan angin berdersir serupa bernyawa. Napasmu juga seakan mengalir di tengkuk. Nafas yang tak biasa bagiku. Apa kau sedang gundah?

“Apa kau tak kangen padaku?” katamu lirih. Sontak aku terkekeh.
“Apa kau bilang?”
“Hehehe, ah, nggak. Maksudku, aku kangen berbincang lagi denganmu.”
“Bagaimana kabar kekasihmu?”
Kepalamu terdongak sebentar, dan kau terdiam. Sesaat, kau mengangkat kepala. Kuat kau menatap. Ada yang menggetar di dalam. Di rongga-rongga dada ini.

Tiba-tiba, kau menyentuh pundakku. Rongga-rongga dada ini, kini seakan terdesak. Aku menahan napas. Tak berani menghembuskannya. Aku seperti dikekang rasa yang hebat. Semoga aku tak sedang memendam rasa. Amin.


“Maukah kau katakan padaku, mengapa orang yang kita suka akan meninggalkan kita demi yang dia cintai?” katamu. Benar juga firasatku. Kalimatmu ini, sungguh membuatku ingin menahan napas lebih lama, sedikit kaget. Kucoba tertawa pendek.
“Memangnya kenapa?” Tanyaku balik. Kau tak menyahut, lalu kau membungkuk, mengambil dua potong kerikil besar dan melemparkannya ke arus sungai yang deras.
“Memang, bersama pilihanku, jauh lebih baik ketimbang darinya. Tapi, sejak pacarku menyatakan lepas dariku, seketika itu juga aku merasa ada yang padam dalam jiwa. Ada rasa sesal yang susul menyusul. Dalam menyergap, apalagi saat sadar, ia benar-benar telah pergi dariku...”
“Haha, buat apa lagi kau pikirkan apa yang sudah pergi? Pikirkan yang di depan mata. Kecuali, kau pengen dikerat-kerat luka. Bukankah, kau sudah memantapkan hati menentukan kemantapan pilihan terbaik bagi masa depan?”


Lagi-lagi, seperti biasanya, kau menggeleng2.
“Bersamanya, memang jauh lebih baik. Aku mengakuinya. Tetapi, sejak dia benar-benar lepas dari genggaman, tiba-tiba aku merasakan rasa takut yang tak aku mengerti. Rasa takut yang membuatku seakan menyeretku memasuki kegelapan.”
“Doh, buat apa kau pedulikan itu? Kalau pilihanmu yang sekarang justru lebih baik?” kataku sedikit mengejar. Tapi dadaku ini, menggetar lebih hebat. Aboh boh.
“Justru, itu dia masalahnya,” lanjutmu, “Aku merasa sangat takut ditinggalkan. Perasaan yang tak pernah kurasakan selama bersama pacarku. Dan aku merasakannya saat bersama pilihanku yang sekarang...”
Aku tertegun. Sejauh itu, pengalaman cintamu bergerak tak seperti siput yang lambat. Wajahmu terlihat muram durja, serupa tungku beku yang lama tak disapih api. Seperti biasa, kubiarkan kau berbusa celoteh.

“Sebulan setelah jadian, kami sering cekcok. Padahal sebelumnya kami begitu mesra dan harmonis. Sekarang, kami sering bentrok dan saling berdiam diri. Kemaren, aku mengetahuinya sering sms-an sama seseorang yang pernah dicintainya. Kau tahu, lukanya tak terkira.”
Aku mendesah. Luka itu, aku tahu. Luka itu, juga tersimpan di sini. Di dada ini. Sungguh, aku sangat paham, rasa luka yang itu.
“Aku tak tahan lagi. Makanya, aku...aku jadi pengen tahu, kenapa kau sampai berkata begitu padaku. Seolah, kau sudah tahu apa yang kualami nantinya.”
“Rahasianya, pilihanmu itu tidak mencintaimu. Kau hanyalah korban empuk sebuah pelarian. Pelarian dari kegagalannya mendapatkan cinta. Kebetulan dia menemukannmu, dan ternyata kau mau. Meski dia tidak mencintaimu, tapi bagaimanapun dia sedang butuh pelarian. Pelarian dari rasa nestapa dan kecewa. Dan ketika orang yang dicintainya tiba-tiba datang, tentu ia akan lebih memilih cinta orang yang pernah diidam2kannya itu kan?”
“Apa benar memang seperti itu keadaannya??”
Aku tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Aku ingin kau mencernanya dengan hati dan pengalaman. Agar kau bisa menemukan jawabannya sendiri, tanpa aku harus memberikan jawaban iya atau tidak. Itu lebih mendewasakanmu.
“Engkau yang dulunya redup, jadi punya nyala dan nyali berkat kelebat lelakimu itu. Maknya, saat lelakimu lepas darimu, nyala semangat itu pun ikut padam. Sebab apa? Kau pun sesungguhnya cinta dia, dan kau pun tahu itu.”
Aku diam sejenak.Aku ingin kau punya jeda menyimak.

“Darimana kau tahu, pilihanku itu tak mencintaiku??”
“Dia tahu, kau ada yang punya. Tapi dia tetap menggait cintamu. Hanya seorang playlove yang bisa melakukan hal itu. Seorang yang memang memiliki cinta, pasti akan mundur. Sebab, yang diinginkannya adalah sosok yang setia. Sosok yang bisa dipegang, dan bisa menjaga cinta. Tak seorang pun di dunia ini, yang ingin dikhianati. Itulah kehormatan cinta. ”
Khusyuk aku mengatakan itu. Iya, karena itulah yang sedang kudera kini. Kehilangan seseorang yang pernah mencintaiku, juga aku pun mencintainya. Kuharap dengan kekhusuyukan ini, kau mulai memaklumi beberapa petik kekeliruan di masa yang berlalu.
Aku letakkan tangan di bahumu. Dalam keluhmu, tak kuasa aku berdiam. Kutarik napas, dan membuangnya tenang. Aku sadar, di sini kau butuh ketenangan. Setidaknya, dari luar dirimu. Aku contohnya. Kembali kutarik napas sebelum bicara.


Kau mendesah. Makin deras air matamu mengalir. Tanpa tangisan. Sejenak aku ragu meneruskan. Tapi, kurasa ini penting. Aku tidak sedang menasehatimu sobat, aku hanya sedang membagi solusi.
“Lelakimu itu...” lanjutku, “benar-benar memberikanmu seutuhnya cinta. Dengan cinta itulah, sesungguhnya semangatmu tumbuh seperti lampu. Semangat itulah yang membuat yang lain pun jatuh cinta padamu.”
Kau menggeleng-geleng seperti biasanya. Beda denganmu, aku tidak menggeleng-gelengkan kepala, tapi hatiku. Hati yang sedang retak. Retak semacam piring yang jatuh.
“Mungkin aku yang bodoh, atau memang bahasamu yang terlalu tinggi. Aku tetap nggak paham apa yang kamu jelaskan...”
Kau menunduk. Duh, sukar nian menyederhanakan kalimat. Tapi sungguh, caramu tertunduk dalam begitu, membuat jantungku berdesir. Bahkan, kala kepalamu terangkat dengan mata tersorot di mataku, jantung ini seperti mau terlepas. Blung!
“Hik hik, rasanya, aku ingin bunuh diri...”
Aku balik menyentuh pundakmu reflek. Menatapmu lama, kemudian beralih, menyusuri deras aliran sungai yang biru kehitam-hitaman. Air penuh limbah. Konon, dari air sungai inilah, warga kota mendapatkan air minumnya.

Kau lalu menatapku. Lama. Lama sekali.
“Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu??” cetusku agak gelagapan. Kau masih menggeleng-geleng. Makin lama, tatapanmu seakan berubah sebentuk danau. Danau, yang membuat mataku seakan ditenggelamkan. Kesadaranku jadi tak bisa fokus lagi. Dari pipimu yang putih bersih, tetes-tetes basah makin menggenang. Aku terpana. Tiba-tiba aku merasa gelisah. Aku nggak tahu, apa perlu merasa terharu ataukah tidak.


Tetapi yang pasti, rapat pelukanmu ternyata rapat menerpaku. Aku terhenyak.
“Bagaimana jika kubilang...aku jatuh cinta padamu??”
Baru kemudian melepaskan pelukan perlahan, dan mundur selangkah. Timbul rasa hening menyergap. Ada nuansa biru laut yang mendekam.
“Jangan main-main. Ini masalah perasaan...” kataku makin tak menentu.

Kembali kau menggeleng-geleng.
“Aku...aku... ingin...”
Terpatah kau bicara. Aku kacau menunggu, kalimat lanjutanmu. Lagi-lagi, kau mendekat, aku pun siaga.
“ Aku ingin....menikah... denganmu...”

Zlap.

Hatiku kini dipenuhi rasa takut. Semisal aku menerimamu, apakah di suatu saat kau takkan meninggalkanku? Dan apakah kau akan kembali pada yang kau cintai, andai saja dia masih ingin kembali? Sungguh, kakek buyutku pastilah benar. Jangan sampai jatuh ke lubang dua kali. Apalagi di tempat yang sama. []



[darimana datangnya angin
saat kau cari-cari ia tak pernah datang
maupun pergi

[angin ini
ada di sini
juga di situ
pun, di sana

[ia ada
menjadi ada
saat-saat kau mulai menyadarinya

[hembusannya
lebih berasa
dari bara? []

komentar-komentar:
 

Komentar