duka cinta

Apakah cinta
seperti udara?
Karena itulah,
tak kunjung terhindarkan?


Seorang Ibu separuh baya datang dan mendudukkan satu piring, satu mangkok air cuci tangan, dan segelas teh hangat. Aku mengucapkan terima kasih. Ikan bandeng kesukaan. Luar biasa. Di luar warung, hujan deras turun beruntun. Sial, pastinya nggak bisa balik ke rumah ntar.

Di sela-sela botol minuman yang berjejer rapi di atas meja dan menghadang pandangan, tiga lelaki duduk dan ibu barusan juga ikut duduk. Obrolan yang sangat serius. Berkali-kali lelaki berumur 50-an menundukkan kepala. Tanpa sengaja pembicaraan itu didengar oleh telinga.
“Tanah ini benar-benar akan digusur mas!” katanya dengan kepala tetap tertunduk. “padahal, dari warung inilah kami hidup.”

Lelaki jangkung manggut-manggut. Dengan tenang disentuhnya pundak lelaki itu.
“Kita usahakan sebaik mungkin.” Tuturnya. Suaranya terdengar tidak meyakinkan. Ada nada galau di situ. Mungkin segalau perasaanku tentangmu nona. Jujur, aku sangat takut jika tiba-tiba ada yang menggusurmu dari tanah harapanku. Memang sih, status hak tentangmu belum bersertifikat. Bah, lagi-lagi tentang kamu. Sebal. Bisa tidak sih, pikiran tentangmu minggat meski selintas saja? Benar-benar menyebalkan.

“Lalu harus bagaimana?” kata lelaki berumur itu panik. “Dulu, saya membelinya 25-an juta. Dan kami punya sertifikat. Heran, bagaimana bisa orang itu punya sertifikat dan mengaku tanah ini miliknya??”

“Kita usahakan saja dulu.” Kata lelaki satunya bertubuh agak gemuk. Aku tidak tahu siapa dua orang itu. Mungkin seorang pengacara. Aku teringat tentang Penggusuran di Genting Baru. Bukan soal status tanah yang semrawut, maupun karena lagi ketlisut hingga mereka termarginal. Tetapi tentang duka mereka yang meraung bagaikan ditelan senyap. Yang kutahu, para Cabub menyebar iklan di media sedang asyik membantu warga, tukang becak, katakanlah orang-orang yang berhak dibantu. Tapi, sebegitu nyaring duka mereka, hingga kini belum terbaca di surat kabar tentang aksi para cabub datang memeluk hangat ke tanah berduka senyap itu. Entah kenapa. Aku tidak tahu. Lalu, siapakah rakyat jelata yang besar-besar terpampang di surat kabar-surat kabar ituh? Gawat. Gawat. Dunia makin sunyi ditelisik. Makin lama makin lengang dimengerti.

“Kalau begitu, kami pamit dulu.” Aku mengangkat lirikan diam-diam. Dua orang itu ternyata sudah berdiri. Ibu warung berlari ke dapur, dan membawa bungkusan. Dua orang itu menolak halus pemberian itu. Namun sang Ibu memaksa. Mereka pun akhirnya menerima, dan sama-sama mengucapkan terima kasih.

Melihat mereka pergi, kembali aku teringat tentangmu. Oh, nona. Kau. KAU. Oh, cintaku, harapanku, hidupmatiku. Hikz! (maaf aku tak jadi menangis. Lhah, gini-gini aku ni lelaning jagad).

Hujan di luar mulai mereda. Cepat-cepat kutenggak minuman hingga habis, dan kusisakan separuh. Biar saja. Semoga saja di situ tak tertinggal kenangan tentangmu. Ah, untung hujan tak sederas tadi. Dengan lunglai, aku tinggalkan warung. Jalan setapak memang berkerikil nona, tapi lebih berkerikil lagi saat tak bisa menghapusmu.
“Mas..mas..!!!”

Aku berhenti. Suatu teriakan sangat tegas kudengar di belakang. Ah, ternyata ibu warung melambai-lambai tangan.
“Ada apa ya bu?”
“Mau ke mana?” tanyanya. Aku mengernyit heran. Mau tahu urusan orang saja. Huh.
“Lho, yaa, mau pulang bu!”
“Lha, iiya. Tapi sampean kan belum bayar??”

Oh, Tuhan. Mimpi apa aku ini??!+*&%!!
Doh, ini pasti gara-gara kamu. Tapi, sudahlah. Kurasa si Gibran ada benarnya. Begini katanya;

Jangan kau berlari jika cinta tiba
Meski seribu tusukan
pedang menghampiri bertubi-tubi.


Gawat. Kok malah main puisi. Udah ah. Nggak selesai-selesai ni cerita. Sad Ending lagi. Aduhai, harapanku, cintaku, hidupmatiku!!*@#$%!!. 03 Nov 2008.

Komentar