Dunia Yang tak Terduga

Deru rel kereta api berderit 
seperti desing peluru. Dan berhenti di stasiun ini. 


Jam masih 19.55. dari arah mata yang tersorong, sebelah timur stasiun, kegelapan menyisakan remang tanpa lampu. Lalu lalang manusia di sana bagai sosok gelap berkelayapan. Hampir seperempat jam kami duduk.

“Kamu sudah tahu kerjaku kan?” katanya agak lirih. Aku hanya menghela napas. Memang, barusan kami keliling kota. Semula dia di bagian sirkulasi, kemudian turun di bagian distribusi. Mengambil suratkabar dari percetakan dan disebar ke kios-kios. “Seorang loper koran mau melamar gadis?”

Ingin rasanya terbahak. Tapi ini perbicangan serius. Kuangkat kepala. Menyaksikan kumpulan manusia di sana, mengingatkan masa dulu. Kerinduan investigasi menyibak. Remang-remang di sana sarat misteri pergolakan jiwa umat manusia. Ah, naluri lama yang bangkit.

Tiba-tiba dia berdiri, melangkah ke daerah remang dan mengajak duduk di rel KA yang gelap. Dua perempuan juga duduk di sebelah kami.
“Mengharap naik gaji memang mustahil di saat krisis begini.” Kataku menyambung. “Kurasa kita beruntung. PHK tak menjemput.” Dia menarik napas. Mungkin kecewa aku pun ikut-ikutan mengeluh. Bahkan main ceramah. Dia sedang ingin didengarkan. Curhat yang lahap.

“Sial! Dasar lelaki kere!!!” sebuah suara keras tertahan terdengar. Sontak kami menghentikan perbincangan dan menoleh ke sebelah. Dua perempuan itu. “Udah main enak, bayar secuil! Kalau tak karena pengen anakku sekolah, kutendang dia!!!”

Tiba-tiba dia menyergap tangan sigap. Aku sedikit kaget.
“Mari kita pulang!” katanya. Aneh. “Kamu benar. Kita memang masih termasuk manusia yang beruntung jika demikian di negeri ini!”

Tanpa menoleh lagi dia menjauhi rel KA dan stasiun. Entah apa yang berlekuk di benaknya. Yang pasti, perbincangan dua perempuan itu mendadak begitu jernih. Menjernihkan kekeruhan yang mungkin tanpa batas. Surabaya, 08 Januari 2008.

Komentar