tak seungu harapan


Benarkah tak ada hal
paling mengganggu dari cinta,
selain urat syaraf harapan?
Makanya, cinta itu kian menikam?


Aku sedang habis menjenguk-Nya, kala timbul kerinduan menghubungimu. Lama sudah tak membuka telpon, meski sekedar miskol saja. Ketatnya kerja seakan mengungkung lika-liku pertemuan.

“Ada yang baru di blog-ku,” tuturmu setelah selang lama obrolan berlangsung. “Bacalah!” tambahmu antusias. Aku pun mengamini tutur antusiasmu itu. Kubuka blog-mu dan kubaca. Betapa ada yang bergerincing dalam jiwa. Blog-mu bertutur tentang telpon, penungguan, dan seorang kekasih. Kemungkinan ini untukku, bisikku dalam hati. Isinya pas dengan peristiwa-peristiwaku tentangnya.

Karena itulah, kembali kuangkat telpon.
“Telah kubaca blog-mu. Terima kasih, yah.” Kataku dengan girang.
“Hei, tapi itu bukan untuk kamu..” sergahmu cepat. Aku terperangah. Kurasa ucapanmu barusan seperti lintasan pedang yang menebas kerongkongan, aku jadi sukar berbicara setelah itu. Malunya.

“Ya, sudah. Nggak apa-apa. Yang penting aku sudah membacanya.” Kataku kemudian dengan risau. Sulit jadinya untuk sekedar mencandainya. “Oya, baca juga blog-ku, ya? Di situ, yang berjudul, diary tentang!”

Kalo saja sejarah bisa dihapus, sudah kuhapus sejarah obrolan telpon paling nisbi ini.
“Hei, kawan! Jangan bengong uy!”

Sesuara tiba-tiba terdengar membelah hening. Teman dari kos sebelah.
“Ada apa?”

“Utangmu mana? Lagi bokek nih!” tandasnya tanpa merasa iba. Doh, ini kan bulan sangat tua. Sialan, apes banget sih??!!#%$!!@!!![] 30 Oktober 2008.

Komentar