KONCO WINGKING

Sudah sejak dulu aku menyimak apa yang tersirat dari sinar mata itu. Bahwa sinar itu ternyata lebih dari sekedar itu, inilah yang tak kusadari. Apalagi jika aku masih memintanya membuatkan kopi. Kau tahu apa yang bakal keluar dari mulutnya?

“Sebagai suami, kau terlalu manja!! Masak, semuanya harus disediakan istri?!” Nah, itu dia sahutan balik darinya. Ini masih mending. Coba dengar sekali lagi jika aku bilang masih banyak bajuku yang kotor, dan yang bersih belum sempat kuseterika.
“Kok enak sekali sih?? Jangan kayak anak kecil kamu. Aku ini bukan istri dari jaman kerajaan tahu?!”

Lebih mirip kalimat menghardik? Pedas? Begitulah, tapi seperti biasa, aku tidak pernah ambil peduli. Paling-paling aku berlalu ke ruang tamu, menghabiskan satu dua batang rokok. Meski terkadang aku bermimpi, bakal ada secangkir kopi di pagi hari dari tangannya.
*****
Konco Wingking. Itulah topik tak habis disepah sepanjang karir pernikahan kami. Ia selalu lihai mengutip istilah Jawa itu dengan ketatnya.
Sebagai suami, aku ini katanya terlalu kuno karena masih menganut pandangan lama. Di mana suami tinggal makan dan minum. Tinggal memakai baju tanpa mencucinya sendiri. Padahal zaman sudah jauh berubah. Lelaki dan perempuan sejajar di segala posisi dan bidang.
Aku sering jadi pusing sendiri, hingga kerap pulang malam dari kerja. Aku ini kan hanya memimpikan seorang istri yang menyediakan secangkir kopi di teras depan. Menyediakan hidangan sedap di ruang utama. Itu saja. Masalah cuci-mencuci, barangkali masih dikompromikan.

Tetapi, sekali lagi, tak layak bagiku selalu mengutuki diri. Setiap pilihan, selalu memiliki dilemanya masing-masing. Begitu pula, ketika dulu aku merasa pantas memilihnya karena beberapa alasan logisku tentang wanita yang ideal; maskulin, cerdas, dan cantik.
Tiga hal itu, dia memilikinya. Bahwa kemudian, ada tiga hal lain yang tak aku suka, barangkali itulah dilema sebuah pilihan? Ah, entahlah.
Barangkali, dia memimpikan sosok suami yang ideal dan tidak manja dalam versinya sendiri?: masak, nyuci dan bikin kopi sendiri? Ah, entahlah.
“Kalau saja aku tahu, kau adalah lelaki manja, aku pasti tidak akan memilihmu!” aku mengangkat kepala dengan kaget. Istriku sudah berdiri dan bersandar pada pintu. Aku  memilih cuek saja, dan pura-pura membolak-balik koran
Buktinya kamu masih memilihku kan??” sergahku datar.

“Kamu menyesal kita menikah?” imbuhku tetap asyik membaca koran.
Dia tidak menjawab. Aku tak peduli ketika dia beranjak menuju pintu. Tak selang kemudian, terdengar pintu ditutup dengan keras. Aku hanya geleng kepala.
*****
Jam sudah memutar ke angka sepuluh malam. Barangkali, ini adalah malam paling larut aku pulang ke rumah. Bagaimana pun, kantor sudah serupa rumah kedua bagiku. Aku bisa menikmati kopi dan rokok dengan tenang sambil melamun yang panjang.
Aku membuka jendela, suara bergemuruh langsung terdengar. Hujan sangat deras di luar. Baru jam setengah duabelas aku tiba di rumah. Dari kejauhan, lampu-lampu yang biasanya dimatikan, tampak menyala.
Isi rumah gemerlapan dilihat dari luar. Di kamar, istriku lelap tanpa selimut. Heran, padahal dia tidak senang lampu masih menyala jika waktunya tidur. Aneh.
Daarr

Tanpa sengaja, gelas yang di atas meja tergeser dan jatuh pecah di lantai. Istriku kaget, dan sontak bangun. Mula-mula dia tampak panik, tapi kemudian matanya berbinar melihat keberadaanku.
“Malam banget sih pulangnya??”
Aku tak menyahut sembari melepas kaos kaki. Tetapi dia malah mencubitku dengan keras, hingga pergelangan tanganku merah lebam. “Apa-apaan sih?? Kok nyubit segala???”
“Biar saja. Diajak ngomong kok kayak orang bisu!” Aku mau terbahak, tapi berhasil kutahan. Aku melemparkan badan di atas kasur, rasa lelah dan penatku seperti terobati. Sementara istriku duduk di sofa dengan bingung.
“Oya, maaf lupa bilang. Tiga hari ke depan, aku bakal pulang malam. Ada kerjaan tambahan.” Kulihat dia membekap mulutnya dengan tangan.
“Rencananya sih, mau nginap saja di hotel. Biar tidak boleh balik-balik.”
“Jangan!” potong istriku cepat. Jarak kantorku dengan rumah memang jauh, sekitar 30 kilo lebih. Tetapi tampaknya dia kurang rela.
“Lha, ketimbang bolak-balik?”
“Ya sudah, terserah!” sahutnya ketus.
*****

Ini adalah hari kedua aku pulang larut. Seperti malam kemarin, semua lampu menyala. Istriku malah tampak menunggu di beranda. Aku heran, karena di tangannya ada Laptop. Ia langsung berdiri melihatku datang.
“Mas, Laptopku rusak!” serunya sebelum aku masuk.
 “Rusak ya diperbaiki, beres bukan?” sahutku santai.
Tetapi tidak dengan istriku, dia menarik bajuku kala masuk ke dalam kamar.
“Ada atap yang bocor, rembesan airnya tepat di meja kerjaku. Makanya, kena laptop. Rusak deh.” katanya dengan suara merajuk.
Tumben feminin, batinku heran. “Terus kenapa?” tanyaku balik.
Dia menarik napas. “Ya diperbaiki mas. Masak dibiarin saja? Aku kan mesti selesain kerjaan??”
“Ya diperbaiki aja? Dibawa ke rental kek, beres kan?”

Dia menatapku bingung, kemudian diam dan tertunduk. Ketika aku berlalu, dia masih terdiam. Aku membiarkannya, pura-pura tak peduli. Apalagi punggungku seperti mau melengkung, bayangkan saja berjam-jam duduk di meja, gimana rasanya. Tentu rasanya pasti enak kalau badan ini sudah merebah di sofa, bisa tidur yang pulas.

Lamat-lamat aku mendengar suara aneh istriku. Betul saja, ketika kubuka mata, dia duduk di pinggiran sofa sambil sesengguk. Aku tak tahu apa yang dia rasakan. Yang jelas, tiba-tiba aku teramat ingin membelai rambutnya yang masih acak-acakan itu.
“Baiklah, atap yang bocor akan aku perbaiki,” kataku kemudian. Meski dia punya watak yang bagiku keterlaluan, tidak mau memasak untukku, juga untuk sekadar bikinkan kopi di pagi hari, tetap saja dia istriku. Dia menatapku seakan tak percaya. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku menyentuh bahunya, dan mengecup keningnya sebelum bergegas mencari alat untuk naik ke atap.
Hujan masih deras di luar. Dengan menggunakan tangga, aku nekat naik ke atap rumah. Ada dua genteng yang patah, pantesan bocornya lumayan besar. Sebenarnya, aku ingin membalas perilaku istriku. Biar dia saja yang perbaik atap. Kaum perempuan kan juga bisa melakukannya?
Ah, tapi aku tidak tega. Apapun itu, ia tetaplah istriku. Aku masih eman dengan kulitnya yang indah itu. Naik ke atas atap? Kalau terjatuh gimana? Aku juga yang bakal menyesalinya.
   Krakkk guluduk duk dukkk blar!

Aku terkesiap, suara guntur dan petir berbarengan di atas kepala, saling sambar. Reflek aku menutup telinga karena panik, apalagi ketika kayu peyangga seperti berpatahan.
Suara guntur dan petir makin kencang, menyeret-nyeret kesadaran. Kepalaku terasa berat, badanku pun seperti meluncur ke bawah dengan bebas. Aku pasrah.
*****

Aroma harum kopi semerbak seperti mengitari hidung. Di atas meja, tampak secangkir kopi yang masih mengepul. Aku mengejap-ngejapkan mata karena pandanganku masih agak kabur. Aku mengaduh, ketika aku berusaha bangun. Meja tempat kopi berada bergetar karena kupegang. Aku kaget melihat perban melilit kedua tanganku.

“Biar aku aja yang ngambilin ya!” tiba-tiba aku mendengar suara istriku.
“Mas terjatuh saat perbaiki atap rumah. Karena mas pingsan, kubawa mas ke rumah sakit. Aku menggotong mas ke mobil sendirian lho..”
Aku pura-pura tak respon. Dia menggamit kedua tanganku dan meletakkannya di dadanya.
“Mas marah ya? Aku janji, tiap pagi bikinin mas secangkir kopi, ya, ya?!” katanya merajuk. Kini, sambil terisak.
“Nyuciin baju mas juga?” kataku bercanda.

Ia cemberut, dan langsung mencubit tanganku. Kontan aku berteriak kesakitan. Ah, bisa-bisanya dia lupa kedua tanganku sedang diperban. Jauh di lubuk hati, aku bersyukur. Patah di tangan tidak apa, asal yang patah bukan di hati. Kurasa, setelah kejadian ini, kentalnya kopi akan selalu menemuiku di kala pagi.

komentar-komentar:
  • Nihayatul Wafiroh Jadi secangkir kopi sebagai tanda ketaatan istri pada suami ya ? Heeeeemmm
    Kalu nunggu suami pulang sampe malam bukan bagian dari ketaatan ya? Kalau menjadi teman diskusi yang enak buat suami juga bukan ketaatan ya? Ah...hanya secangkir kopi

    18 Oktober 2010 jam 11:50 melalui seluler · · 1 orang

  • Akhiriyati Sundari
    lumayan lah...cerita romantis. Seputar kopi dan istri di pagi hari. Aku jadi teringat, beberapa waktu yang sudah jauh berlalu, seseorang berkata kepadaku; "Aku hanya memimpikan, kelak jika aku menikah aku ingin begitu aku terbangun membuka mata di pagi hari, ada kopi panas yang dibuatkan oleh perempuan yang paling aku cintai". Jiaaaa....seharusnya ceritamu ini bukan berjudul "Konco Wingking", tapi "Kopi dan Racikan Tangan Perempuan"...Kekekekkekkk LEBAY!
    18 Oktober 2010 jam 11:52 · · 1 orang

  • Tamam Ayatullah Malaka
    mbak nik g usa sewot
    aku kan cuma bercerita saja,hahaha


    btw,cerpen yg di majalah
    itu simpel sekali
    ...Lihat Selengkapnya
    18 Oktober 2010 jam 12:01 ·

  • Akhiriyati Sundari
    Pada dasarnya aku setuju sama Mbak Ninik di atas. Ceritamu ini sarat tafsiran yang "ngganjel", Tamam? Menyundut hal yang sensitif terkait relasi lelaki-perempuan, suami-istri. Judulnya saja menohok "Konco Wingking". Menurutku, istilah itu TIDAK ADA dalam hubungan pasutri. [ah, aku melanggengkannya secara ndak sadar, kekeke]. Aku hanya mencoba membaca cerita ini dari sisi romantiknya saja. Bayangan lain, tentu saja aku akan senang melakukannya kelak. Menyeduhkan kopi panas untuk suamiku. Sekalian saja sebenarnya, karena aku pecinta kopi! ckakakakakk..
    18 Oktober 2010 jam 12:07 ·

  • Tamam Ayatullah Malaka
    hahaha
    kalian ngeroyok aku ya?
    aku kan cuma menggambarkan saja


    konco wingking itu
    bukannya TIDAK ADA
    tetapi ADA
    seiring dengan tema GENDER

    menurut hematku:
    antara GENDER dan KONCO WINGKING..
    selalu menyediakan timbal balik
    dua pihak yang bersitegang

    kupikir..
    lelaki-perempuan itu kan
    saling bertukar cinta
    yang membuat GENDER dan KONCO WINGKING
    tak lagi berlaku.

    di beranda rumah
    di pagi yang cemerlang
    saling berujar dan menikmat kopi

    cespleng!
    18 Oktober 2010 jam 12:16 ·

  • Tamam Ayatullah Malaka ‎--Kalau menjadi teman diskusi yang enak buat suami juga bukan ketaatan ya? Ah...hanya secangkir kopi--

    hehehe

    18 Oktober 2010 jam 12:19 ·

  • Jamie Depp gmn kabare mam,msh d'surabaya?
    18 Oktober 2010 jam 14:06 ·

  • Alimah Perempuan Ibuku
    ada misi terselubung yang justru aku tunggu2 dari pujangga satu ini, apalagi klo bukan untuk membuka mata dan kepala kaum penikmat patriakis. klo boleh reques, buletin yg sedang kukelola lagi butuh cerpen seputar Kesehatan Reproduksi (Kespro) atau cerpen dg setting remaja santri, terutama santriwati.sedangkan untuk tiga buletin lainnya, butuh tulisan artikel tentang perempuan,jika bank data tulisanmu banyak, sisakan buat media di Cirebon dan wilayah III Cirebon, ada biaya keringat dan pikiran yg dikeluarkan,bs to beli puluhan secangkir kopi.
    18 Oktober 2010 jam 14:30 · · 1 orang

  • Nihayatul Wafiroh MBak Alimah, aku sedang getol-getolnya belajar tentang kespro dan lagi semangat-semangatnya corat-coret cerpen. bolehkan ikut urunan cerpen? ya tentang santri dan kespro lah hehehhe

    Tamam, kapokkk dikeroyok, habis pengandaianmu terllau simple sih dengan hanya menyelaraskan secangkir kopi dan ketaatan hahhaha

    18 Oktober 2010 jam 14:55 ·

  • Alimah Perempuan Ibuku ‎@ mba Ninik: wah, makasih banget mba.Sumonggo, dinantiharapkan sekali. saya nanti akan kirim soft file prodak buletinnya juga via email. makasih banget loh mba...
    18 Oktober 2010 jam 14:58 ·

  • Alimah Perempuan Ibuku ‎@mba Ninik: kita distribusikan secara gratis ke seluruh Ponpes wilayah III Cirebon, baik Indramayu, Kuningan, maupun Majalengka. selain itu juga jaringan Fahmina-institute Cirebon lokal maupun nasional
    18 Oktober 2010 jam 15:01 ·

  • Nihayatul Wafiroh ‎@Mbak alimah, apa nama buletiinya ya? aku sering dapat gratisan bulletiinya dari Kang Faqih, I am his classmate at ICRS-YOgya hehhe. Opsss diskusi beginian di rumah orang, bakalan mencak-mencak ngamuk nih yang punya rumah hehhe

    @Tamam, untuk cerpenku yang di majalahmu itu sekedar tulisan ringan dari hasil belajarku pada tulisan-tulisan dahsyatmu :)

    18 Oktober 2010 jam 15:01 ·

  • Alimah Perempuan Ibuku ‎@mba Ninik: namanya "TANASUL", dlm bhs indnsia-nya "reproduksi". ini buletin baru. buletin lama juga ada, namanya "Blakasuta", dan "Al-Basyar" tapi khusus membahas isu buruh migran, trafiking, dan Community Oriented Polycing (COP)
    18 Oktober 2010 jam 15:05 ·

  • Nihayatul Wafiroh ‎@MBak Alimah, I have the soft version of Tanasul. Fagih sent me
    18 Oktober 2010 jam 15:06 ·

  • Alimah Perempuan Ibuku ‎@mba Ninik:buletin juga bisa dibaca di sini=>http://fahmina.or.id/penerbitan/tanasul.html, juga di sini=> http://fahmina.or.id/, dipinggir ada kanan ada Blakasuta
    18 Oktober 2010 jam 15:08 ·

  • Alimah Perempuan Ibuku ‎@mba Ninik: oh, okay, syukurlah...
    18 Oktober 2010 jam 15:09 ·

  • Tamam Ayatullah Malaka
    ukhti Alimah::: okeeeee,misi terselubungku akan aku buka di sanaaa,hehe.Tak mengembara dulu di alam pesbuk dulu.Golek berkas2 kehidupan.Sukron ukhti, untuk sambaran penawarannya!


    Btw, mbak nik, silahkan saja
    berisik juga boleh di rumah a...Lihat Selengkapnya
    18 Oktober 2010 jam 15:27 ·

  • Isma Kazee mam, kalau istrimu tak mau membuatkan kopi artinya kamu blm bisa menyentuh perasaan dan hatinya. sebenarnya bukannya tak mau membuatkan kopi, tapi istrimu tak mau itu jadi rutinitas dan keharusan, apalagi sampai jadi ukuran ketaatan dan cinta. kamu tahu lagunya ari lasso kan, sentuhlah dia di hatinya ...
    18 Oktober 2010 jam 23:23 · · 2 orang

  • Sirr Ahmala Jabulani Sekali-sekali memuji racikan istri jauh lebih nikmat, bukan?! Anggaplah saja pitunem-mu itu senikmat 234, meskipun sebenarnya memang pitunem!
    19 Oktober 2010 jam 1:53 melalui seluler · · 1 orang

  • Tamam Ayatullah Malaka
    mbak isma:hik hiks..
    aku kan cuma menulis cerpen.kok dianggap kisahku sendiri.nasib.nasib...


    aduh istriku,ini bukan kisah
    kita berdua bukan? ihik ihik...

    kawan 234--
    hahaha
    kau benar kawan.racikan istri emang semerbak
    membuatku terlupa akan pituenem,wkkk
    19 Oktober 2010 jam 9:39 ·

  • Nihayatul Wafiroh kapokkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk mari kita gencet tamam bareng2
    19 Oktober 2010 jam 10:02 ·

  • Ecka Pramitha mungkin kopinya bermaksud simbol, tapi esensinya menurut saya ya perhatian, apapun itu yang penting tidak terpaksa dan bersumber dari hati....kalau misalnya istrinya tak pandai buat minuman ya dibuatin dunk hehe
    19 Oktober 2010 jam 15:05 · · 1 orang

  • Tamam Ayatullah Malaka
    ‎---ecka
    hai,haiiii..
    akhirnya ada juga
    yang mau memahamiku,ihik ihik


    maturnuwun atas sumbangan penjelasan itu Ecka
    sungguh,itu beberapa bagian
    dr yg saya maksudkan itu...

    terima kasih

    (uhuk uhukkkk..lirik-lirik.com
    19 Oktober 2010 jam 15:22 · · 1 orang

  • Ecka Pramitha mas tamam lebay deh, aku hanya melihat dari kopi sebagai pertanda, soal penandanya sih bisa berwujud apa saja, termasuk nyuci n ntrika baju sendiri hehe
    19 Oktober 2010 jam 15:35 ·



Komentar